PENDAHULUAN
Menjadi seorang yang dapat membangun kehidupan jemaat yang berhadapan dengan masalah dalam lingkungan masyarakat sangatlah sulit. Tapi kesulitan itu dapat dihadapi oleh Pdt. Rein Markus Luntungan dalam masa hidupnya, terutama masa pelayanannya di GMIM. Dalam masa pelayanannya, banyak hal yang boleh kita pelajari dan itu merupakan spiritualitas kehidupan yang ada pada dirinya.
Spiritualitas yang ada pada Pdt. Luntungan sangatlah banyak. Namun pada bagian ini, saya akan lebih menyinggung spiritualitas yang ia bangun pada masa perang, ketika Jepang menjaja Indonesia terutama tanah Minahasa. Pada masa inilah, Pdt. Luntungan banyak memainkan peranannya dalam membangun Gereja di tengah situasi sulit yang melanda Jemaat. Tokoh yang diangkat disini yaitu Pdt. Rein Markus Luntungan, ia adalah seorang Pendeta GMIM dan perna menjabat sebagai Ketua Sinode GMIM dari tahun 1968-1979.
ISI
Spiritualitas Pdt. Rein Markus Luntungan Pada Masa Penjajahan Jepang
Pada Januari 1942, tentara Jepang menyerbu dan menduduki Minahasa. Nella Sumangkut, salah seorang ibu yang bersama Pdt Luntungan menceritakan sebuah pengalaman bahwa ketika tentara Jepang memasuki Airmadidi, maka ia bersama keluarga pendeta ini terpaksa menyingkir ke sebuah perkebunan yang bernama Ro’ (dari kata: Rorok yang berarti: dalam). Lokasi ini terlindung oleh dua dinding pegunungan sehingga agak dalam atau seperti lembah. Dalam masa pengungsian ini, mereka bersama keluarga Moningka-Waworuntu, bercocok tanam, menanam padi yang kemudian sempat menuainya.
Bagaimana dengan pelayanan gereja? Luntungan mengatur agar seluruh warga membentuk kelompok menurut tempat tinggal mereka yang paling dekat dalam kawasan perkebunan itu. Dengan demikian, terbentuklah kelompok-kelompok jemaat seperti di perkebunan Sawangan, Samidou, dan Depo Sela (=sawah yang luas). Pdt Luntungan dengan gembira dan bersemangat mengunjungi mereka satu persatu, melayani firman Tuhan, katekisasi, termasuk ibadah minggu dan sakramen-sakramen. Pdt Luntungan menggembalakan dan menguatkan mereka agar mampu menghadapi situasi dan kondisi yang berat serta sulit akibat perang itu.
Bukan hanya Pdt Luntungan, tapi istrinya (Sarah M Meray) yang berprofesi sebagai bidan, juga mengimplementasikan keahliannya melayani masyarakat dalam situasi pergolakan perang. Ia banyak membantu ibu-ibu yang melahirkan, memberikan petunjuk-petunjuk tentang cara hidup sehat, mengurus bayi dan sebagainya. Lambat laun, sebagai istri pendeta, Ibu Sarah M Meray menyadari dan memahami bahwa tugas panggilan mereka bukan hanya atau harus berprofesi pendeta seperti suaminya, melainkan juga melalui bidang kebidanan yang ditekuninya. Ia terus bersemangat dan makin giat melayani, sekaligus menunjang pelayanan gerejawi suaminya.
Pelayanan Pdt Luntungan (bersama istri) berlangsung di tengah situasi dan kondisi perang akibat serbuan tentara Jepang. Pada 4 Januari 1944, Ds. A. Z.R Wenas (Ketua Sinode GMIM ketika itu) mengunjungi Airmadidi sekaligus menyampaikan kepada Pdt. R. M. Luntungan bahwa ia akan dipindahkan ke Manado, tepatnya pada Kantor Manado Syun Kirisutokyoo Kyookai yang dibentuk oleh Jepang. Persiapan pembentukan Kantor Manado Syun Kirisutokyoo Kyookai diselenggarakan pada tanggal 12 Januari 1944 yang dihadiri antara lain oleh Ds. A.Z.R Wenas, Ds. B. Moendoeng dan Inlansche Leraar P. Tirie. Peserta dipertemukan menyepakati bahwa Kantor Manado Syun Kirisutokyoo Kyookai akan diresmikan pada 30 Januari 1944 dengan komposisi,
Ketua : Pdt. Z. Hamazaki
Ketua Muda : K. Suzuki
Ketua Muda : Ds. A. Z. R. Wenas
Kepala Kantor : Pdt. Rhein Markus Luntungan
Pembantu : Pdt. K. Kansil
Kira-kira pada 21 Desember 1943, Tuan K Suzuki telah mengajukan rencana itu kepada Ds. A. Z. R Wenas. Atas dasar itu, Pdt. R. M. Luntungan menyelesaikan atau mengakhiri tugas pelayanannya di Airmadidi pada tanggal 31 Januari 1944 lalu menyerah-terimakan tugas-tugas tanggung jawab pelayanan gerejawi itu kepada Inlansche Leraar ES Tengker.
Selanjutnya Pdt. Luntungan berpindah tempat tugas pada Kantor Manado Syun Kirisutokyoo Kyookai dan bekerja bersama Pdt. Z. Hamasaki dari Jepang. Sebagai kepala kantor, Pdt. R. M. Luntungan harus menangani banyak pekerjaan. Ia harus senantiasa hadir dan menjelaskan kepada Jepang tentang apa dan bagaimana gereja. Hal ini terutama karena Jepang sangat curiga terhadap gereja yang mereka pahami sebagai kaki tangan Belanda. Jepang melihat gereja sebagai alat Belanda yang mengancam posisi Jepang di Minahasa.
Masa-masa ini adalah masa-masa yang sulit, baik untuk hidup maupun untuk melaksanakan tugas pelayanan gerejawi. Sering Pdt. Luntungan harus keluar rumah karena panggilan tugas sebelum anak-anaknya bangun pagi, dan nanti kembali ketika anak-anaknya sudah terlelap pada malamnya. Sementara itu, bahaya maut mengancam di mana-mana.
Pada 1944, Angkatan Udara AS membom banyak kawasan di Minahasa (termasuk Manado) karena menduga tempat-tempat itu sebagai markas Jepang. Akibatnya banyak sarana infrastruktur yang hancur, termasuk Rumah Sakit Bethesda Tomohon dan Kantor Sinode GMIM Tomohon. Banyak orang terluka dan bahkan melayang nyawanya/menjadi korban tewas. Masa-masa ini bisa disebut sebagai masa-masa yang serba tidak menentu, sebab orang yang bangun pagi dengan segar bugar, bisa saja ia tidak akan tidur pada malamnya karena tadi siang ia telah menjadi mayat. Pdt. R. M. Luntungan hampir mengalami hal itu ketika suatu waktu menumpang kendaraan truk ke Manado. Setelah sekian lama kendaraan berjalan, ia bersama penumpang lain mencurigai bungkusan yang mereka duduki. Begitu diperiksa, ternyata bom! Sedikit waktu lagi meledak dan pasti membunuh mereka. Mereka segera membuangnya ke dalam jurang di samping jalan lalu mempercepat laju kendaraan.
Pada waktu lain, bersama Ds. A. Z. R. Wenas, Pdt. Luntungan ke Kantor Sinode GMIM Tomohon. Tiba-tiba Angkatan Udara AS membombardir Tomohon dengan bom. Akibatnya, mereka harus berlari ke sana kemari mencari perlindungan. Setelah terdengar bunyi sirene tanda pesawat telah menghilang, mereka keluar dari lokasi persembunyian dan bersyukur kepada Tuhan karena mereka masih hidup. Dalam situasi dan kondisi amat berbahaya seperti ini, Pdt. Luntungan justru sungguh-sungguh merasakan penyertaan Tuhan: Dia adalah ‘’Gunung batu, kubu dan benteng pertahanan yang kokoh’’. Pdt Luntungan menyaksikan: semakin besar ancaman bahaya, semakin besar perlindungan Tuhan, sebagaimana penjagaan seorang gembala terhadap kawanan domanya (Maz 23), atau seperti seekor induk ayam melindungi anak-anaknya di dalam naungan sayapnya. Atas dasar keyakinan dan kenyataan itulah Pdt. Luntungan tidak gentar melanjutkan tugas panggilan pelayanan gerejawi yang dipercayakan kepadanya.
Salah satu tugas tanggung jawab utama Pdt. Luntungan sebagai kepala Kantor Manado Syun Kirisutokyoo Kyookai adalah mengunjungi dan melayani segenap tentara Jepang di seantero Minahasa. Ia melakukannya tanpa ditunjang oleh sarana dan prasarana yang memadai seperti kendaraan, sehingga umumnya ia harus berjalan kaki atau naik kuda ke lokasi-lokasi yang menjadi alamat pelayanannya, termasuk ketika ia bersama Pdt. H .Kamazaki mengadakan apa yang GMIM sebut: Rensei Konsyukai selama dua minggu di tiap-tiap wilayah bagi para pendeta dan pemimpin-pemimpin agama. Ini memang tugas berat. Kenapa? Karena bukan saja medan dan cara menjanganya yang sulit, tetapi karena isi atau inti pelaksanaan Rensei Konsyukai itu sendiri adalah upaya politis-sistematis Jepang untuk mengindoktrinasi Gereja di Minahasa. Jepang berusaha menggunakan para pendeta dan pemimpin agama lainnya untuk menguasai Minahasa.
Pada satu waktu Jepang mengumpulkan semua penduduk Desa Tumaluntung hingga Desa Kema (di Minahasa Utara) yang berumur di atas 12 tahun untuk menggali lubang yang lebar (semacam parit) di Desa Kauditan. Ternyata Jepang bermaksud menjadikan lubang lebar itu sebagai kuburan bagi seluruh penggalinya. Tentara Jepang bermaksud memusnahkan semua orang berumur di atas 12 tahun agar muncullah generasi baru yang setiap kepada Jepang. Jadi tentara Jepang sengaja membiarkan anak-anak yang berumur 12 tahun ke bawah karena berpikir bahwa anak-anak ini nantinya akan menerima indoktrinasi politik Jepang sekaligus memuluskan upaya Jepang menguasai Indonesia.
Tindakan tentara Jepang ini, berarti mengancam juga keluarga Pdt. Luntungan, termasuk saudara-saudaranya, mirip dengan kisah Ester dalam Alkitab. Disemangati oleh kisah kepahlawanan Ester, maka Pdt. Luntungan memberanikan diri melakukan pembicaraan dan negosiasi dengan pimpinan tentara Jepang di Manado, sekaligus menjelaskan bahwa keberadaan masyarakat berusia di atas 12 tahun di Tonsea bukanlah ancaman bagi tentara Jepang. Melalui kepribadian yang berwibawa dan sikap serta sifat kegembalaannya, Pdt. Luntungan berhasil meyakinkan tentara Jepang lalu batallah niat jahat mereka.
Pada lain waktu, ia harus memperlihatkan dan menjelaskan kepada kenalan-kenalannya, terutama orang Jepang bahwa masyarakat Minahasa tidak berniat untuk berkhianat kepada Jepang. Bahkan orang Minahasa membantu Jepang memperbaiki lapangan udara di Mapanget dan di Kalawiran, Kakas. Lapangan-lapangan itu harus sering-sering diperbaiki, sebab cepat rusak karena ketika baru saja selesai diperbaiki, sering sudah dibom oleh tentang sekutu. Tapi akhirnya masa yang penuh kegetiran dan kesukaran seperti itu berakhir pada Agustus 1945 setelah Jepang menyerah tanpa syarat kepada tentara sekutu pimpinan Amerika Serikat. Lalu berakhirlah Perang Dunia ke-2.
PENUTUP
Pada masa penjajahan Jepang, Pelayanan dari Pdt. Rein Markus Luntungan sangatlah sulit, ia harus melayani jemaat dibawa kekuasaan tentara Jepang. Namun dari situlah ia tetap terus melayani melalui spiritualitas yang ia bangun. Spiritualitas itu terlihat pada beberapa bagian, diantaranya:
1. Pdt. Luntungan melayani orang-orang yang harus tinggal di daerah perkebunan, dengan mengunjungi mereka satu persatu, melayani firman Tuhan, katekisasi , termasuk ibadah minggu dan sakramen-sakramen. Pdt. Luntungan menggembalakan dan menguatkan mereka agar mampu menghadapi situasi dan kondisi yang berat serta sulit akibat perang itu.
2. Pdt. Luntungan tetap menjalankan pelayanannya walaupun tidak menggunakan alat transportasi, dan harus berjalan kaki ke tempat-tempat yang jauh sekalipun.
3. Pdt Luntungan menyaksikan: semakin besar ancaman bahaya, semakin besar perlindungan Tuhan, sebagaimana penjagaan seorang gembala terhadap kawanan dombanya (Maz 23), atau seperti seekor induk ayam melindungi anak-anaknya di dalam naungan sayapnya. Hal ini menjadi kesaksiannya ketika boleh selamat dari ancaman bom.
4. Pdt. Luntungan mampu meyakinkan tentara Jepang bahwa keberadaan masyarakat berusia di atas 12 tahun di Tonsea ( yang coba akan dibunuh) bukanlah ancaman bagi tentara Jepang, dan masyarakat Minahasa tidak berniat untuk berkhianat kepada Jepang. Melalui kepribadian yang berwibawa dan sikap serta sifat kegembalaannya, Pdt. Luntungan berhasil meyakinkan tentara Jepang lalu batallah niat jahat mereka
Spiritualitas yang ada pada Pdt. Luntungan ini akan terus menjadi bagian sejarah, dan kiranya sikapnya ini akan memotivasi kita untuk terus melayani walaupun dalam masa-masa yang sulit sekalipun.